23.4 C
Bandar Lor
Minggu, Mei 5, 2024

Santri dan Guru Beda Pilihan Politik, Apa yang Harus Dilakukan?

Di tahun politik seperti ini, mulai dari profesor, ilmuwan, sampai orang awam semuanya bicara tentang politik. Di kantor, di pasar, di sekolah dimanapun berada politik dibicarakan dimana-mana. Bahkan, di kolong jembatan sekalipun tak luput menjadi tempat pembicaraan politik. Orang-orang sibuk membicarakannya, siapa sih yang layak duduk di singgasana pemerintahan?.

Sebagai masyarakat yang sedang berusaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang katanya Indonesia itu kualitas SDM-nya rendah, ayolah sedikit demi sedikit memahami apa yang sedang dibicarakan, jangan asal ikut-ikutan, ada yang rame-rame ikut. Fomo. Gak mau ketinggalan. Untuk menumbuhkan kualitas itu, yah setidaknya tambah ilmu satu persen setiap harinya, oleh karena itu sebelum menginjak ke permasalahan adab atau tatakrama seorang murid dengan gurunya ketika beda pilihan, mari kita sama-sama belajar dari yang fundamental dulu. Mulai dari definisi politik. Apa artinya politik?

Arti politik

Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan politik sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Dalam pandangan ulama politik dirumuskan seperti ini :

تدبير الشؤون الرعية لمصالحهم في الدنيا و سعادتهم في الاخرة

Baca Juga:  Manusia dan Agamanya

”Pengaturan urusan-urusan untuk kesejahteraan mereka di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat”.

Saya rasa pengertian diatas merupakan pengertian yang ideal, kenapa? karena dalam pengertian itu ada tujuan bersama yang mesti dipahami dan dimengerti, yaitu politik dijadikan sebagai pengaturan untuk mencapai kesejahteraan bersama. Melalui politik, pemerintahan membuat sebuah keputusan dan kebijakan untuk kesejahteraan bersama, kesejahteraan rakyatnya, bukan malah sebaliknya mementingkan kesejahteraan para penguasa saja.

Politik adalah seni, seni mengatur kehidupan bersama untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi semua manusia, kurang lebih seperti itu Gus Dur mengungkapannya.   Kehidupan seperti itulah yang diharapkan dan dicita-citakan oleh manusia, kehidupan yang rukun, damai, dan sejahtera. Politik adalah cara untuk menuju cita-cita kemanusiaan.

Lebih jauh dalam kitab “al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah” karya Ibnu al-Qoyyim, menuturkan pandangan Ibnu Aqil, beliau menyatakan bahwa “Politik adalah tindakan yang mendekatkan masyarakat kepada kebaikan dan menjauhkan dari keburukan, meskipun tidak diatur oleh wahyu atau petunjuk langsung dari Rasulullah SAW. Lalu Ibnu al-Qoyyim menyimpulkan : “Jika terdapat tanda-tanda keadilan melalui sumber apapun, itu adalah hukum dan kehendak Tuhan”.

Baca Juga:  Degradasi Progresivitas Mahasiswa Pasca Runtuhnya Era Fasisme (Orde Baru) ; Kemana Lagi Arah Mahasiswa?

Saya kira segini sudah cukup memberi gambaran tentang pengertian politik, ya, meskipun sedikit. Kan, di awal saya sudah mengatakan yang penting bisa tambah ilmu setidaknya satu persen setiap harinya. Baik, kita berlanjut ke permasalahan tentang perbedaan pilihan (dalam hal ini) -beda pilihan capres-, antara murid dan guru.

Adab murid kepada guru ketika berbeda pilihan

Secara sederhana berbeda itu hal yang sangat wajar terjadi, dimanapun pasti kita menemukan perbedaan-perbedaan. Karena dengan perbedaan itu membuat hidup terlihat indah dan beragam.

Beberapa kiai-kiai pesantren ada yang memberikan dukungan secara jelas dan tegas kepada salah satu pasangan capres cawapres. Ada yang mendukung paslon 1, ada yang mendukung paslon 2, dan ada juga yang mendukung paslon 3. Para kiai tak lupa mengarahkan santri-santrinya agar ikut pula mendukung paslon pilihannya. Dalam hal ini, sebagian santri ada yang bersikap sami’na wa atho’na dan sebagian yang lainnya tetap teguh dengan pilihannya sendiri dan berbeda dengan pilihan gurunya. Nah, ketika berbeda pilihan seperti ini, sikap seperti apa yang mesti dilakukan? Bukankah ketika santri ini menolak arahan gurunya termasuk santri yang tidak nurut dan tidak patuh, dimana hal ini dapat membuat sakit hati seorang guru yang dapat menimbulkan keberkahan serta kemanfaatan ilmunya hilang. Na’udzubillah.

Sebaiknya diam, itu salah satu sikap yang mesti dilakukan oleh seorang santri yang berbeda pilihan dengan gurunya, gak perlu koar-koar, gak perlu menampakannya, simpan saja dalam hati. Kenapa? Karena kalau menampakannya dan sampai sang guru dengar bahwa santri itu berbeda pilihan, gak mau menuruti arahan gurunya, bahkan sampai guru sakit hati,  bisa jadi itu menjadi penyebab hilangnya keberkahan serta kemanfaatan ilmunya.

Baca Juga:  Institusi Kian Patriarki, Mahasiswa Dibungkam Dogmatika Agama

Saran saya lebih baik kita mengikuti arahan guru, guru pastinya sudah mempertimbangkan dan memikirkannya matang-matang, dan tidak mungkin seorang guru mau menjerumuskan muridnya dalam keburukan. Jika memang kebetulan berbeda pilihan maka jangan sampai memutuskan ikatan dengan guru kita. Puluhan tahun kita selalu didoakan oleh para guru, dididik dengan ilmu, menjadi anak asuh di bidang ilmu dan sebagainya, lalu mengorbankan semua itu menjadi permusuhan hanya karena pilpres? Jangan sampai terjadi.

Penulis : Jamaulel

Editor : Afwan

Mungkin Terlewat

Stay Connected

15,334FansSuka
1,332PengikutMengikuti
7,578PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Trending