Keragaman dan diversifikasi adalah absolut (niscaya), namun pengakuan kebenaran absolut dan klaim kebenaran ekslusif antar perbedaan adalah bukti tidak akan adanya masa depan kemajuan, dan akan mengancam Pluralisme.
-rohimin-
Gerakan Reformasi yang tercatat dalam sejarah masih menjadi memori kenangan yang sulit dilupakan, bahwa gerakan mahasiswa secara masal (1998) adalah sebuah sejarah kemenangan besar yang mengingatkan kita pada sebuah kenangan indah beautiful memories atau sebut saja romantika sejarah. Kemenangan besar gerakan mahasiswa saat itu sampai saat ini masih menjadi tolak ukur trasnformasi sejarah dan selalu menjadi standar pengkederan organisasi kemahasiswaan hari-hari ini.
Mahasiswa adalah manusia yang dianggap paling bertanggungjawab atas penegakan esensi moral keadilan dalam ruang sosial. Pembuktian itu di tunjukan melalui runtuhnya era fasisme atau sering disebut orde baru, dan mahasiswa adalah eksekutor terdepan dalam melengserkan kepemimpinan Suharto.
Namun, robohnya era Fasisme ternyata justru menciptakan simtom baru dalam cara berfikir mahasiswa di era demokrasi tepatnya era industry 4.0, runtuhnya orde baru justru tidak menunjukan peta gerakan yang progresif. Hal itu menimbulkan asumsi dan keresahan dari beberapa kalangan yang masih berharap mahasiswa memiliki idealisme serta keberanian yang mampu menopang sisi progresivitasnya, baik dalam bersikap ataupun dalam cara pandang yang kritis, lalu kemana lagi arah pergerakan mahasiswa di era demokrasi seperti saat ini akan melaju? Beberapa kritikan sering kita dengar sebab gerakan yang kian mengalami dekadensi seperti saat ini, apa penyebab simtom kepekaan terhadap menanggapi realitas sosial seperti saat ini; ataukah mahasiswa sudah menjadi supporters kepentingan antar kelompok yang saling bersaing? Ataukah intelektual mahasiswa justru berpindah pada taraf nalar konsumtif?
Hadirnya beberapa pertanyaan diatas, tulisan ini bertujuan untuk melihat peta gerakan mahasiswa yang kian mengalami degredasi yang signifikan, stagnasi gerakan para kaum akademis yang justru seolah tidur lelap dalam mimpi indah, sedang rumahnya terbang terhempas badi. Lihat saja realitas maha akademisi yang menginjakan kaki di kampus-kampus pada era saat ini. Pergeseran paradigma dari mahasiswa aktivis pergerakan yang lantang dan berani menentang ketidak adilan kini justru menjadi mahasiswa ala competitors, berlomba dalam memenangkan dialektika kebisingan debat kusir dan menjadi pemenang dalam memenangkan even perlombaan, lalu dihujani pujian dan berharap beasiswa serta menjadi icon baliho kampus dan menjadi kiblat mahasiswa milenial.
Penulis akan menuangkan beberapa asumsi mengenai penyebab kemunduran gerakan mahasiswa, yang berimmplikasi pada realitas pergerakan mahasiswa di era milenial saat ini.
Berangkat dari kebijakan yang di bentuk ketika Suharto masih memiliki otoritas kekuasaan penuh di era orde baru, ada bebrapa sejarah yang mungkin hampir dilupakan mengenai kebijakan yang tertuju pada tatanan di ranah akademik, yakni yang sering kita dengar dengan sebutan normalisasi kehidupan kampus (NKK),
Berangkat dari sejarah Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan pembentukan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), penulis beranggapan NKK/BKK menggambarkan sketsa arah gerakan mahasiswa pasca diterapkannya dua hal tersebut, yakni pada saat Menteri Pendidikan Daoed Joesoef dan dilanjutkan pada masa kepemimpinan Nugroho Notosusanto. Dan effek tersebut berimplikasi terhadap realitas gerakan mahasiswa di era demokrasi saat ini.
Menapaktilasi Sejarah Ormik, Dan Implikasi Degredasi Gerakan Mahasiswa Pasca Dibentuknya NKK/BKK
Pada masa sebelum terbentuknya badan koordinasi kampus, mahasiswa memiliki kiprah yang sangat di perhitungkan di berbagai kalangan, baik dosen, pemerintah, aparatur Negara bahkan presiden, tepatnya disebut sebagai instansi Dewan Mahasiswa dan Majelis Mahasiswa. Dewan Mahasiswa mempunyai fungsi sebagai badan eksekutif atau pelaksana, sedangkan Majelis Mahasiswa memiliki fungsi sebagai legislatif. Dewan Mahasiswa dan Majelis Mahasiswa sifatnya independen. Ketua Dewan Mahasiswa dipilih melalui sidang umum Majelis Mahasiswa. Untuk menjalankan Fungsinya Dewan Mahasiswa membentuk KODEMA (Komisariat Dewan Mahasiswa) atau di beberapa perguruan tinggi disebut Senat Mahasiswa.
Sikap kritis mahasiswa semakin tak terbendung dan selalu menjadi pertimbangan para pejabat yang berada dalam kurungan status quo, mereka yang merasa terusik, terancam dengan wacana yang di bangun para aktivis mahasiswa. Karena sikap kritis terus mengawang dan menguasai berbagai kalangan instansi akademik pada tahun 1977, pemerintahan orde baru yang dikenal dengan fasismenya mengeluarkan fatwa yang menggelitik ribuan mahasiswa indonesia di berbagai kalangan.
Dewan mahasiswa dan Majelis mahasiswa di bekukan oleh pemerintah, kebijakan pembekuan inilah yang penulis sebutkan di awal, dan di kenal dengan sebutan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Dan sebagai penggantinya adalah Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Lantas yang jadi pertanyyan adala, apa tujuan pemerintah membuat kebijakan baru dan membubarkan kebijakan lama? Mari kita urai.
Pembentukan Senat Mahasiswa yang di usung program baru NKK, pada mulanya di tingkat univrsitas hanya menaungi fakultas masing-masing, Tapi pada kisaran tahun 1990, pemerintah tidak melarang pembentukan Senat Mahasiswa ditingkat universitas dengan syarat model student government. Yang dianut oleh Dewan Mahasiswa tidak diberlakukan. Model yang diperbolehkan pemerintah saat itu adalah kumpulan ketua-ketua lembaga kemahasiswaan ketua Senat Fakultas, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM). Model seperti ini mendapat tentangan dari pihak universitas.
Dalam sistemnya, senat mahasiswa berjalan dengan membentuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), hal ini jelas harus selalu berurusan atau ber koordinasi dengan senat mahasiswa dalam menjalankan kegiatan apapun, baik internal ataupun eksternal. Senat mahasiswa berjalan menjadi lembaga eksekutif dan sedangkan legislatifnya adalah BPM. Dan berjalannya waktu membuat nama menjadi peralihan yang kini kita kenal dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) selaku dewan eksekutif mahasiswa.
Bem merupakan instansi lembaga internal kampus yang menjalankan tugas layaknya pemerinta eksekutif, untuk pemilihannya jelas, dilakukan secara demokratis dan melibatkan mahasiswa disetiap masing-masing fakultas, pasca terpilih bem akan mengusung beberapa program kerja yang akan di jalankan guna memajukan berbagai elemen, baik fikiran bahkan sampai pada akreditasi fakultas. Merencanakan dan mengkoordinasikan kegiatan ekstra kurikuler di tingkat universitas melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menjadi media komunikasi antara universitas dan mahasiswa, dan memberikan pendapat, usul, saran kepada rektor terutama yang berkaitan dengan fungsi dan pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan fungsi BEM antara lain perwakilan mahasiswa di tingkat universitas sebagai penampung dan penyalur aspirasi mahasiswa dalam lingkungan universitas, perencanaan dan penetapan garis besar program kegiatan kemahasiswaan di tingkat universitas, komunikasi mahasiswa antarlembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas atau jurusan dan unit kegiatan mahasiswa dan pengembangan keterampilan manajemen.
Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) adalah organisasi mahasiswa intra universitas di Indonesia yang dibentuk saat pemberlakuan kebijakan NKK tahun 1978.
Sejak tahun 1978 sampai tahun 1989, BPM memiliki Kegagalan fungsi dengan Senat Mahasiswa, dimana BPM dan Senat Mahasiswa adalah sama-sama wakil mahasiswa dan ada pada tingkat yang sama yakni fakultas. Akan tetapi pada aturan mainnya, Badan Perwakilan Mahasiswa berfungsi sebagai legislatif sedangkan Senat Mahasiswa sebagai badan pelaksana?, akhirnya pada tahun-tahun belakangan BPM dihapuskan dan fungsinya diambil alih oleh Senat Mahasiswa dan BEM melaksanakan fungsi eksekutifnya.
Jika Senat Mahasiswa adalah lembaga legislatif universitas dan Banda Eksekutif Mahasiswa sebagai Lembaga Eksekutif universitas maka DPM sebagai legislatif pada tingkat fakultas dan BEM F sebagai eksekutif pada tingkat fakultas. Hal ini yang menjadi peperangan mahasiswa sekarang yang selalu mempeributkan instansi internal, dimana sekarang kita bisa melihat fakta yang tersuguhkan, bahwa relasi mahasiswa antar instansi justru penuh persaingan yang sebenarnya justru melupakan koridornya selaku mahasiswa, selaku aktivis, dan selaku agen of change, agen of control social dll.
Kini kira di suguhkan dengan pemandangan mahasiswa yang mengalihkan kesibukan dengan agenda internal yang terkesan non-esensial. Penulis melihat relasi mahasiswa penuh dengan atyuran koordinasis, persaingan yang menggebu seolagh bertujuan menjadi mahasiswa terbaik, berlomba mengusung instansinya menjadi terdepan, dilihat ribuan kalangan masyarakat kampus dan gat aplouse, mirisnya bersaing menjadi diri terdepan dan berharap fotonya menjadi icon kampus. Lantas kemana arah pergerakan mahasiswa? Mahasiswa yang dulunya sudi berpanas-panasan di jalanan, researcrch guna mengumpulkan data-data, mendengarkan aspirasi masyarakat, dan lebih mendekatkan diri pada masyarakat, kini seolah ada jarak, ada tembok yang menutup pandangan mahasiswa, berjibaku dalam relasi persaingan yang esensinya justru terkesan kecil.
Lihat saja kasus-kasus di tahun 2019 ini, demokrasi yang kian mengalami degredasi moral, demokrasi yang mulai kehilangan identitasnya sebagai sistem yang di agungkan kini justru menjadi baju baru dari era fasisme, buruh tani penuh dengan deskriminasi, undang-undang yang keblinger, aneh, lucu, akut, pendeskriditan terhadap masyarakat kecil mebudaya dan menjamur, lantas apa yang dilakukan mahasiswa saat ini? justru bergelut dalam konsep wanana internal, program dengan penuh ke-akuan dan buruknya adalah klaim kebenaran eksklusif, typology mahasiswa eksklusivisme, inklusivisme. Bukankah dengan adanya diversifikasi instansi kemahasiswaan mejadikan mahasiswa lebih maju, berdaulat dan memiliki paradigma sudut pandang yang lebih moderat lebih idealis, menjadikan diri yang faham akan pluralism, bukan justru menjadi absolutisme.
Tulisan ini memang bertujuan guna untuk mengkritik instansi kemahasiswaan yang ada saat ini, terkhusus intansi internal, yang kini penulis pandang mengalami dekadensi progresifitas. Penulis berharap, instansi inernal benar-benar mampu menjadi instansi yang mampu menampung aspirasi masyarakatnya (Mahasiswa), menjalankan agenda bukan karena tuntutan namun karena kebutuhan, bukan sebab program kerja yang di tetapkan hasil dari pengasumsian diri, namun menjalankan program yang memang jadi kebutuhan mahasiswa masa kini (kebaikan umum), sebab terkadang apa yang di programkan organisasi untuk kepentingan umum justru khalayak umum tidak membutuhkan hal tersebut, melainkan ada hal lain yang mereka butuhkan, maka cobalah lakukan obserfasi sebelum mengagenda. Selamat berjalan Instansi akademika yang kelak akan menjadi media pembelajaran diri dalam menjalankan Negara yang sesungguhnya / Pemerintah Negara.
Study government is hard political, but that doesn’t mean being a student who is praxis in politics.
-Rohimin-
SALAM MAHASISWA!!!
SALAM PERS MAHASISWA!!!