Oleh : Achmad Hidayat
Hingga saat ini sebagian orang masih menaruh stigma negatif kepada masyarakat Samin. Mereka beranggapan masyarakat Samin adalah orang yang tertinggal, tidak menerima kemajuan dan lugu dengan berbagai stigma yang konyol. Hal seperti itu bukanlah suatu hal yang baru. Jika kita kroscek sejarah, perilaku tersebut merupakan sebuah strategi perlawanan terhadap Belanda.
M. Aziz (2012) mencatat, ketika terjadi perluasan hutan dan penaikan pajak tahun 1950 oleh Belanda, Ki Samin beserta para pengikutnya melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan tidak membayar pajak, sumbangan lumbung desa, menggembala bersama-sama, dan juga ronda jaga desa. Yang menjadi unik perlawanan ini dibanding yang lainnya adalah masyarakat Samin tidak menggunakan kekerasan. Ciri utama yang digunakan dengan logika retorika ngendeng atau nglugu.
Kita bisa lihat salah satu contoh yang digunakan masyarakat Samin untuk melawan Belanda. Ada kisah seorang wartawan di masa kolonial yang berkunjung ke Rembang, wartawan ini pernah menyaksikan perlawanan orang Samin terhadap pemerintah kolonial. Saat itu, sang petani dituntut oleh patih, pegawai kolonial pribumi, untuk membayar pajak.
“Kamu masih utang 90 sen kepada negara,” kata patih sebagai tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
“Saya tak hutang kepada negara,” jawab si orang samin yang berprofesi sebagai petani.
“Tapi kamu harus bayar pajak!”
“Wong Sikep tak kenal pajak,” jawab si orang samin, singkat.
Si patih lalu menyuruh ajudannya untuk menampar wajah di petani. Namun, si petani bersikap tenang tanpa membalas atau mengelak sehingga membuat si patih menjadi lebih marah dan bertanya.
“Apa kamu gila atau pura-pura gila?” tanya patih sambil menghentak.
“Saya tidak gila atau pura-pura gila,” jawab si orang samin.
“Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”
“Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang, kenapa negara tak habis-habisnya minta uang?”
Dengan lagaknya si patih bilang “negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak mempunyai cukup uang, tak mungkin merawat jalan dengan baik.”
Orang samin masih santai dengan sikapnya menjawab “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu tidak mengganggu kaki, kami akan membetulkan sendiri”
Patih yang kesal dengan sikap orang samin lalu membentak, “jadi kamu tak mau bayar pajak?”
“Wong Sikep tak kenal pajak,” tegas orang Samin masih dengan lagak santainya.
Selain dikenal dengan masyarakat samin atau Saminisme, para pengikut Ki Samin juga dikenal dengan Sedulur Singkep. Sudah layaknya suatu perlawanan tanpa kekerasan diapresiasi. Tapi anehnya kata Samin dikenal masyarakat mengandung konotasi negatif. Pandangan tersebut diberikan oleh golongan priayi kepada pengikut Samin karena dianggap melecehkan kewibawaan golongan priyayi. Berikut paparan Paulus Widiyanto dalam “Samin Surantiko dan Konteksnya” di jurnal Prisma (8/8/1983).
Ajaran Samin bermula ketika Ki Samin Surosentiko mengajarkan ajarannya di kelopoduwur. Samin lahir di Kediren, Randublatung, Blora dari keturunan Raden Suryowijoyo. Nama asli Ki Samin adalah Raden Kohar, lalu diganti menjadi Samin Surosentiko karena nama itu bagi ia lebih dekan dengan rakyat. Ki Samin juga masih mempunyai tali persaudaraan dengan Kyai Keti dari Rajagwesi Bojonegoro dan Kusumawinahyu atau Aden Mas Adipati Brotodiningrat yang memerintah kabupaten Sumoroto, Tulungagung (Indah dkk: 2017)
Matanasi (2010) memposisikan Ki Samin sejajar dengan Mahatma Ghandi yang sama-sama menentang orang kulit putih tanpa kekerasan. Di dalam jurnal Prisma Widiyanto (1983) juga mencatat bahwa Gandhi sendiri mengakui bahwa perlawanan tanpa kekerasan bukan hal baru. Sebelum dia mejalankannya, memang sudah ada perlawanan tanpa kekerasan, namun namanya tak tercatat sejarah. Di dalam literatur peradaban Islam sendiri ada nabi Ibrahim dan Imam Syafi’i yang melakukan perlawanan terhadap penguasa dengan retorikanya.
Meskipun keempat tokoh menerapkan strategi yang berbeda, tetapi inti pola pemikiran yang mereka gunakan sama, yaitu tanpa kekerasan. Pramoedya juga pernah melakukan kritik terhadap Bapak Pers Nasional, Tirto Adhi Soerjo yang sama-sama orang Blora. Di dalam bukunya Sang Pemula, ia merasa heran kenapa Tirto tidak pernah mencatat perjuangan Samin. Padahal pada tahun 1914 sampai 1942 terjadi pembangkangan sosial oleh masyarakat Samin yang dipelopori oleh Soerosamin.