LP2M.Corong- Peletakan batu pertama akan di tetapkan mulai bulan April 2020, namun pembebasan lahan Bandar Udara kediri yang terletak di 3 kecamatan masih belum sepenuhnya clear, 08-02-2020.
Menurut Ikhsan Alfajari selaku peneliti yang berada di desa Grogol bersama Mahsiswa Tribakti lainnya menjelaskan problem di tengah pembangunan bandar udara Kediri sebenarnya sangat kompleks, ada beberapa warga yang masih belum sepakat dengan pembebasan lahannya, baik lahan pemukiman ataupun lahan tegalan (lahan perkebunan), ini terjadi di beberapa lokasi terdampak pembangunan.
“Ketidak sepakatan warga terkait ganti untung pun berbeda-beda alasan, sehingga menciptakan kesimpulan negosiasi dua arah, ini terjadi dalam 3 kecamatan dan beberapa desa yang berbeda, untuk kecamatan tersebut diantaranya: Kecamatan Bulusari, Kecamatan Banyakan, dan Kecamatan Grogol”, Lanjutnya.

Menurut Yunarno selaku ketua RW 01, Dusun Bedrek Desa Grogol mengatakan, di dusun Bedrek sendiri masih menyisakan 10 KK yang menolak untuk di gusur dan menolak untuk di beri ganti untung.
Alasan warga menolak ganti untung (Pemkab Kediri), “Karena adanya penurunan harga yang sangat drastis, harga sebelumnya, sekitar tahun 2018 harga tanah di dusun Bedrek Selatan masih berkisar di harga 15jt/Rhu atau 15jt/14 m². Sedangkan saat ini setelah Proyek pembangunan Bandar Udara di tetapkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), harga tanah per Rhu menjadi anjlok 10,5/rhu. Ini menjadi beban bagi masyarakat terdampak, harga yang anjlok ini akan menjadi buntut masalah bagi warga terdampak, dikarenakan harga tanah di luar yang akan di beli warga untuk membangun rumah baru atau menetap di lokasi yang baru, kini harganya berkisar di harga 13,5-20 jt/rhu. Ini menjadi beban sekaligus kerugian yang sangat besar yang di tumpahkan ke warga terdampak”, tegasnya.
Menurut Bpk Suaji selaku Warga yang rumahnya terkena proyek pembangunan dan berlokasi di Bedrek Selatan mengonfirmasi bahwa “warga sebenarnya welcome dengan pembangunan bandara, warga pun sepakat menerima dengan adanya proyek pembangunan bandara, namun yang memberatkan warga adalah bentuk kemiringan harga yang sangat jauh dari harga sebelumnya.

Dalam kasus jual beli tanah, warga merasa lebih enak berurusan dengan pihak suasta, “dulu yang merayu untuk menjual tanah kami adalah Calo/ Makelar yang bekerja sama dengan pihak PT Gudang Garam selaku investor terbesar di proyek pembangunan bandara. Karena harga yang di tawarkan pun lebih mahal, dan cara perlakuan terhadap masyarakat pun lebih halus. Sedangkan kini, setelah pembangunan bandara menjadi proyek PSN di tanggal 31 Agustus 2019. Calo atau pembeli tanah kami beralih ke sembilan tim: meliputi PEMDES, CAMAT, KORAMIL, KODIM, Pengadilan Kabupaten Kediri, Kejaksaan, PEMKAB, DAN BDI/SDI”, Lanjutnya.
“Sedang sembilan tim tersebut selama 7 bulan di muali dari bulan Juni 2019 kami di datangi setiap malam, kami merasa di teror. Rumah kami di ukur dengan tiba-tiba dengan dalih menjalankan tugas, dan parahnya kami di undang Ke Gedung Studi Kelayanan Bisnis (SKB) untuk negosiasi harga. Namun lucunya kami selaku pemilik tanah tidak di beri izin untuk menawarkan harga yang kami inginkan, justru kami hanya di beri tahu bahwa lokasi pemukiman warga terdampak di beri ganti rugi sebesar 10,5jt/rhu. tidak diberikan kesempatan untuk kami meminta kenaikan harga, lanjutnya.
jika kami tetap kekeh mempertahankan tanah kami, maka konsekuensinya proses akan di bawa ke pengadilan untuk melanjutkan ke proses konsinyasi, kami merasa takut dan tertekan karena kami tidak tahu soal hukum. Tegas Pak Suaji Selaku Warga Bedrek Selatan.
Reported BY: Rohimin