23.2 C
Bandar Lor
Rabu, September 27, 2023

Keberagaman Indonesia Dalam Status Gawat

Indonesia negeri yang beragam. Semua warna ada, membaur menjadi satu dalam janji suci Bhineka tunggal ika. Kesantunan masyarakat Indonesia tak perlu dipertanyakan, menghargai satu sama lain menjadi keharusan. Itulah Indonesia dalam impian dan iklan.

Kenyataannya, memang ada seperti yang digambarkan diatas. Tapi adapula, yang mencoreng wajah Indonesia menjadi kusut seperti benang sulit terurai. Entah direncanakan atau tidak, akhir-akhir ini kekerasan bermuatan SARA menjadi senjata tercanggih untuk melegitimasi apapun. Untuk mencapai kekuasaan pun sangat ampuh digunakan.

Kekerasan adalah hal yang tak manusiawi, di belahan dunia manapun kekerasan perbuatan yang tak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Termasuk dalih menunaikan ajaran Tuhan. Keberagaman yang dimiliki Indonesia bukan usaha mudah. Para pendahulu kita bersusah payah dalam menyatukan perbedaan dalam satu wadah. Indonesia. Dalam satu ikrar. Bhineka tunggal ika.

Kekerasan bermuatan SARA tidak lain lahir dari fanatisme buta individu terhadap keyakinannya atau golongannya, fanatisme seperti ini melahirkan asumsi bahwa hanya aku atau golongan ku yang paling benar, dan berujung pada tindakan kekerasan fisik maupun verbal (ujaran kebencian).

Imam Syafi’i ra dalam maqolahnya mengatakan, pendapat/keyakinanku benar tapi ada kemungkinan salah, pendapat/keyakinanmu salah tapi ada kemungkinan benar. Dipertegas oleh Sayyid Alwi Almaliki dalam kitab Almafahim, bahwa kita tidak boleh tergesa-gesa untuk menyalahkan seseorang karena alasan berbeda paham. Seakan kebenaran hanya dimiliki diri sendiri dan golongannya dan tak ada lagi yang benar selain aku dan golonganku.

Baca Juga:  Degradasi Progresivitas Mahasiswa Pasca Runtuhnya Era Fasisme (Orde Baru) ; Kemana Lagi Arah Mahasiswa?

Dua ulama salaf ini secara tersirat menegaskan bahwa tak ada kebenaran dan kesalahan yang mutlak, sikap merasa paling benar hanya akan menimbulkan konflik horizontal berkepanjangan. Dalam konteks Indonesia merusak keberagaman dan demokrasi yang dicita-citakan.

SARA sendiri adalah akronim dari Suku, Agama, Ras dan Antar golongan. Sebenarnya, merupakan pra syarat dalam dinamika kehidupan masyarakat heterogen yang bernilai positif. Perbedaan suku, agama, rasa dan antar golongan merupakan realita sosial yang tak dapat ditolak oleh siapa pun. realita ini menyatakan bahwa masyarakat seluruh penjuru dunia terdiri dari berbagai Suku, Ras, Agama dan Antar golongan yang beragam.

Namun, perbedaan ini sering disalah pahami, sehingga perbedaan SARA berubah berkonotasi negatif. Kesalah pahaman ini akan berujung pada konflik kekerasan SARA. Apalagi kalau wacana SARA dijadikan alat kampanye dalam pesta demokrasi, sikap tersebut secara terang-terangan mencedrai semangat demokrasi.

Seharusnya perbedaan menjadi energi positif dalam mewujudkan Indonesia demokratif. masyarakat yang majemuk. Demokrasi yang masih mempertentangkan suku, agama dan golongan adalah demokarasi semu.

Sebab dalam demokrasi perbedaan bukan untuk diperselisihkan. Tapi untuk dikomunikasikan dalam “ruang publik” meminjam istilah Habermas. Perbedaan ideologi, paradigma ataupun keyakinan apabila di diskusikan/dikomunikasikan cendrung akan melahirkan kesepakatan. Perlu di ingat, kesepakatan disini tidak menjadi ukuran kebenaran. Tapi, merupakan fase dialektis dalam masyarakat demokratis.

Baca Juga:  78 Tahun Indonesia Merdeka, mengumpulkan semangat perjuangan untuk menata masa depan.

Politik SARA

Sepanjang tahun 2015-2016 konflik SARA mencapai angka 1.568 kejadian, menurut wakapolri komjen Syafruddin dilansir dari kompas. Lebih nampak lagi, dalam kontelasi politik pilkada DKI 2017, dimana isu suku,agama,ras dan antar golongan menyeruak hangat ke permukaan publik, dijadikan alat meraup suara menuju kursi kekuasaan.

Benar, isu SARA tidak bisa dilepaskan dari kontelasi politik. Pertarungan mencapai kekuasaan yang seharusnya mengedepankan akal sehat, faktor integritas, kapabilitas dan penilaian kerja telah dinegasikan oleh sentimen etnis, agama dan ideologi tanpa fakta. Fenomena seperti ini lebih dikenal dengan politik SARA.

Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun perhelatan demokrasi Indonesia, sebagian orang meramalkan konflik berbaju SARA akan terulang kembali dalam pilkada serentak dan pilpres, setelah berkaca pada pilkada DKI kemarin yang melibatkan aksi masa bersakala besar untuk menyerang lawan politik calon yang diusungnya. Bukan acuan utama. Hanya saja, Jakarta ibu kota negara yang bisa dijadikan patokan bagi daerah-daerah lain.

menurut Blumer setiap tindakan bersama cendrung memiliki bentuk yang mapan dan berulang. Baginya, setiap tindakan bersama seperti aksi masa bersakala besar akan mengulang kembali polanya, tindakan semacam itu diakui Blumer diarahkan oleh sistem makna yang telah mapan, seperti kebudayaan dan tatanan sosial (Ritzer, 407).

Politik SARA dan kekerasan bermuatan SARA adalah dua variabel yang terpisah. Bisa menjadi terikat sebab ada unsur variabel lain yang mengharuskannya terikat. Politik awalnya dimaknai sebagai pengelolaan polis bermakna kota bisa dipadankan dengan negara. Aristoteles memaknai polis sebagai tempat terbaik manusia untuk mencapai tujuannya. Sehinnga politik berimplikasi dari kehidupan bersama manusia dengan manusia lain.

Baca Juga:  Bantuan Kedua Bencana Pasigala, Wujud Kepedulian TRIBAKTI Dan Al-Hikam Terhadap Korban Gempa, Tsunami Dan Likuifaksi

Kemunculan istilah politik SARA tidak lain lahir dari kegagalan masyarakat dalam memaknai perbedaan itu sendiri, lalu para aktor politik melihat dengan jeli satu celah yang bisa digunakan dalam mempermulus jalannya menuju kekuasaan. Pengejewantahan nya melalui kampanye hitam (black campaign) maka diangkatlah isu SARA. lalu bagaimana dengan kekerasan bermuatan SARA?

Nah, bisa kita lihat. Kekerasan bermuatan SARA adalah implikasi otomatis dari propaganda politik SARA yang bersifat elektik. Memilih pola terbaik untuk mencapai kepentingan pribadi maupun golongan. Mungkin tidak diperhitungkan dampak buruk dari pola tersebut.

Keberagaman Indonesia adalah rahmat, selalu saja ada orang menjadikannya laknat. Memperalat keberagaman demi kepentingan yang katanya mensejahterakan rakyat. Nyatanya memecah belah persatuan. Keberagaman Indonesia sedang dalam darurat.

Mungkin Terlewat

Stay Connected

15,334FansSuka
1,332PengikutMengikuti
7,578PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Trending