31.4 C
Bandar Lor
Rabu, November 29, 2023

Independensi Pers Mahasiswa Lahir dari Tekanan

Mahasiswa itu manusia bebas. Tidak mau dikekang. Didikte. Bahkan diintimidasi. Mereka yang mengalami masa-masa itu pasti akan bangkit untuk melawan. Terbukti dari perjalanan selama dua rezim di negeri ini dari Orde Lama (Orla) hingga Orde Baru (Orba). Bisa diklaim, mahasiswa sebagai garda depan menumbangkan kekuasaan yang represif.

Mungkin dari perjalanan sejarah itulah mahasiswa lekat dengan sebutan sebagai pelaku perubahan. Bukan sekadar belajar di kampus atau mencari nilai tertinggi di kelas, status sebagai pelaku perubahan itu menuntut kaum intelektual ini peka terhadap realitas sosial.

Untuk mewujudkan kepekaan itu, mahasiswa bebas memilih di organisasi apa dia akan menempa dirinya. Ada memilih gerakan ekstra kampus ada pula intra kampus. Semua sama saja, sama-sama melatih diri untuk peka terhadap kondisi sosial. Satu di antara sekian banyak organisasi mahasiswa, Pers Mahasiswa punya andil besar atas perjalanan sejarah bangsa ini.

Sebut saja sepanjang masa perjalanan dua rezim, Orde Lama dan Orde baru. Pascakemerdekaan sekitar 1950-1955, Pers Mahasiswa mulai tumbuh. Mereka hadir dengan produktivitas yang tinggi dan bernas. Sekitar tahun itu pula, konsolidasi pers menghasilkan ikatan pers mahasiswa Indonesia (IPMI) yang diiringi dengan pergeseran haluan politik rezim Orde Baru dari demokrasi liberal/parlemen ke demokrasi terpimpin.

Baca Juga:  Menuju Pemikiran Filsafat Idealisme G.W.F. Hegel

Perubahan haluan ini menjadi ujian pertama indepedensi Pers Mahasiswa. Pasalnya, Soekarno memaksa setiap organisasi untuk memasuki Manipol/Usdek dalam anggaran dasar/aturan rumah tangga (AD/ART). Ketika itu mulai terjadi pertentangan, menolak untuk ikut pemerintah untuk menjaga independensi Pers Mahasiswa. Perpecahan pun terjadi. Rupanya perpecahan juga terjadi pada gerakan mahasiswa lainnya.

Setelah mahasiswa turun ke jalan untuk menumbangkan Soekarno, barulah terjadi pergantian rezim menjadi Orde Baru yang dipimpin Soeharto. Di era ini, kebebasan itu semakin dikekang. Pada tahun 1970, resmi diawasi. Bahkan rezim ini begitu alergi dengan kata pers yang dianggap bisa menjadi pengganggu.

Untuk tetap bisa berkonsolidasi, Pers Mahasiswa terpaksa mengelabui pengsuasa dengan perhimpunan penerbit mahasiswa Indonesia (PPMI). Tidak ada kata pers pada konsolidasi itu, yang ada pers diubah jadi penerbit.

Tekanan kepada aktivitas mahasiswa semakin membabi buta, untuk mengawasi mahasiswa diterapkanlah NKK/BKK yang kemudian mengkerangkeng kebebasan mahasiswa. Mereka yang dianggap membahayakan bisa ditangkap dan dipenjara. Pada tahun 1993, nasib sial itu menimpa Pers Mahasiswa UIN Suka Yogyakarta bernama Arena. Saat itu, Arena menelurkan karya berjudul Bisnis Keluarga Presiden. Peristiwa itu momok bagi lainnya. Represif terhadap mahasiswa itu berakhir tahun 1998, Soeharto lengser setelah gerakan massa yang dimotori mahasiswa berhasil menumbangkan penguasa yang membungkam kebebasan berpendapat lewat Pers Mahasiswa.

Baca Juga:  Dinamika Pendidikan Dalam Lingkaran Covid 19

Perjuangan Pers Mahasiswa di dua rezim itu semestinya bisa menjadi pondasi untuk tetap bisa merawat marwah Pers Mahasiswa. Menolak didikte serta tidak tunduk pada kebebasan berpendapat. Kemudian, Pers Mahasiswa sudah sewajarnya menciptakan media alternatif yang bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Produk jurnalistik dari Pers Mahasiswa ini bukan sebagai tandingan media umum keberadaan Pers Mahasiswa ini untuk menjadi pelengkap media arus utama. Menjadi media alternatif sangat mungkin dilakukan dengan dasar mahasiswa adalah manusia bebas. Utamanya bebas kepentingan.

Tantangan Pers Mahasiswa Masa Kini

Di era Reformasi, represif itu justru datang dari internal kampus. Data dari Tirto.id dalam Pembredelan Pers Mahasiswa menyebutkan dari 64 pers mahasiswa yang ada di Indonesia 47 di antaranya pernah mengalami kekerasan.

Tidak hanya intimidasi, internal kampus bahkan kerap melakukan tindakan yang menghambat kebebasan pers seperti pembredelan bahkan tindakan intimidasi. Pada tahun 2014 Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menulis tentang kritikan pelaksanaan ospek. Kemudian pada 2015, LPM Lentera di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang memberitakan peristiwa 1965 di Salatiga. Kasus penarikan hasil karya jurnalistik mereka melibatkan militer.

Baca Juga:  Sumbangsih Ulama Dalam Memperjuangkan Kemerdekaan

Kemudian pada tahun 2016, ada dua Unoversitas di Yogyakarta ikut dibredel karena memberitakan internal kampus. Yakni LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang memberitakan pembangunan gedung kedokteran lalu LPM Pendapa di Universitas Sarjana Tamansiswa Yogyakarta dibekukan karena seling menulis hal negatif tentang kampus.

Lalu ancaman dari luar kampus. Seperti yang dihadapi LPM Balerung UGM, tahun 2018 lalu, Balerung mengangkat berita terkait dengan kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswinya. Bukannya mendapat perlindungan dari kampus, dua jurnalisnya kini berhadapan dengan hukum. Status keduanya sebagai saksi dalam perkara tersebut.

Dari ragam peristiwa yang merugikan Pers Mahasiswa tersebut, tampaknya ada yang belum sinkron terkait pemahaman keterbukaan informasi publik dan kebebasan berpendapat. Bila aturan-aturan tersebut selalu diabaikan dan tidak dikampanyekan kepada khalayak umum, maka ancaman dibredel dan diinitimidasi sangat mungkin akan berulang. Belum lagi Undang Undang ITE yang siap menjerat siapa saja dengan pasal karetnya. Mari berdiskusi dan menulis!!! (Rekian, penulis adalah anggota AJI Kediri. Disampaikan pada Dies Maulidiyyah LP2M Corong di IAIT Kediri ke XI dengan tema Merawat Independensi Pers Mahasiswa pada Minggu,24/2/2019)

Mungkin Terlewat

Stay Connected

15,334FansSuka
1,332PengikutMengikuti
7,578PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Trending