Hikmah Dibalik Kontroversi Kata Kafir vs Mawāṭīn

Oleh: Achmad Hidayat

Akhir-akhir lalu, publik digemparkan oleh pro-kontra penggantian istilah kafir dengan mawāṭīn bagi warga non-muslim di Indonesia. Penggantian istilah tersebut, tentunya memiliki serangkaian alasan bagi pihak penyokongnya, begitu juga pihak penolaknya.

 

Bagi NU, istilah kafir berikut klasifikasinya sebagaimana dalam kitab klasik hanya relevan diterapkan dalam negara Islam. Tidak sebatas di situ saja, sebutan kafir dalam konteks negara demokrasi juga bisa menjadi suatu kekerasan teologi. Hal itu dibuktikan dengan masih seringnya kata kafir dijadikan instrumen untuk mendeskriditkan warga non-muslim maupun muslim sendiri.

 

Berbeda dengan hal itu, sebenarnya pihak yang menolak pun juga mengamini tidak dibolehkan menggunakan kata kafir untuk menyakiti perasaan warga non-muslim. Namun, pihak ini menilai sikap NU yang mengganti kata kafir dengan mawāṭīn tersebut dinilai terlalu berani. Selain itu, meskipun dalam Piagam Madinah telah menyebutkan istilah non-muslim, sebutan kafir masih tetap berlaku bagi orang yang tidak memeluk Islam.

 

Terlepas dari kontroversi tersebut, penulis sangat optimis dalam memandang kasus ini. Menurut penulis, kedua pihak sebenarnya memiliki kesepakatan dalam tataran normatif. Keduanya memiliki kesadaran untuk tidak menyakiti perasaan warga non-muslim. Dengan adanya polemik tersebut, kesadaran ini tidak akan menjadi wacana saja. Melainkan akan berubah menjadi sebuah tindakan yang nyata.

 

Anggapan tersebut tentunya tidak tanpa alasan yang jelas. Untuk menegaskan hal tersebut, di sini penulis akan melakukan pembacaan psikologi ala Freudian mengenai komponen struktur kepribadian kedua belah pihak.

 

Untuk komponen struktur kepribadian yang pertama adalah id. Id dalam konteks tersebut adalah sebuah kekukuhan dan penolakan statement lawan tanpa klarifikasi terlebih dahulu. Hal ini, karena id merupakan energi psikis yang mendorong seseorang untuk mencari kepuasan dan menghindari rasa sakit.

 

Yang kedua adalah ego. Ego sendiri merupakan tindakan seseorang yang keluar dengan mempertimbangkan realita sosial. Hasilnya kedua belah pihak saling berupaya untuk menunjukkan sikap bahwa mereka sebenarnya menghargai warga non-muslim. Tindakan ini tidak bersifat murni, karena lahir dari dorongan dalam upaya menunjukkan penting tidaknya penggantian kata kafir.

 

Selanjutnya yang ketiga adalah superego. Superego merupakan tindakan seseorang yang bersifat murni tanpa terpengaruh lingkungan sekitar. Dari seperego yang mereka miliki, sikap menghargai terhadap warga yang berbeda keyakinan akan terjadi tanpa dorongan apapun. Tindakan yang mereka lakukan murni dari naluri mereka masing-masing.

 

Dalam konteks tersebut, ego dan superego memang belum nampak secara jelas. Tapi kedua komponen tersebut dapat diprediksikan bagaimana untuk kedepannya. Hal ini karena komponen struktur kejiwaan merupakan struktur psikis yang terpisah tetapi saling berinteraksi.

 

Mungkin jelasnya seperti ini, dalam pengambilan sikap seorang, id difilter oleh rasio dengan mempertimbangkan lingkungan sekitar. Apakah sikap yang diwujudkan akan sesuai atau tidak dengan lingkungan sekitar. Dengan kata lain, sikap tersebut timbul dari lingkungan, lalu dinamakan dengan ego. Dari ego yang selalu terpengaruh lingkungan, pada akhirnya akan menjadi kebiasaan yang mana akan melahirkan superego.

 

Dilihat dari uraian di atas, pihak pro maupun kontra tidak akan berhenti pada kesadaran menghargai saja. Mereka pasti akan melangkah sedikit maju untuk menunjukkan eksistensi bahwa mereka sebenarnya, dan memang menghargai masyarakat yang berbeda kepercayaan.

 

Hemat penulis, sikap menghargai seperti ini akan mengalami perkembangan. Hal ini berpacu atas dasar ego yang mereka miliki masing-masing. Masing-masing pihak akan menunjukkan sikap menghargai sebagai penguat statement yang mereka bangun masing-masing. Statemen tersebut adalah perlu tidaknya penggantian kata kafir.

 

Meskipun sikap menghargai perbedaan berawal dari saingan, pada akhirnya akan menjadi sebuah tindakan yang murni. Sebuah sikap yang muncul tidak berdasarkan dorongan apapun, yakni murni dari naluri mereka masing-masing. Dengan lahirnya sikap menghargai perbedaan keyakinan seperti ini, diharapkan diskriminasi yang berbau agama dapat terminimalisir.

 

Penggantian kata kafir diatas mamang sempat menjadi kegaduhan bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, kegaduhan tersebut merupakan stimulus untuk menguatnya sikap toleran di Indonesia. Mengingat toleransi di Indonesia baru sebatas wacana saja, sikap toleran yang benar-benar berupa tindakan merupakan suatu hal yang istimewa bagi bangsa ini.